Perubahan paradigma pengelolaan hutan secara nasional di era reformasi secara bertahap mulai membuka peluang bagi masyarakat adat di Indonesia khususnya di Papua untuk turut berperan secara aktif dalam penyelenggara pengelolaan hutan. Paradigma baru pengeloaan hutan ini diaplikasikan melalui model pengelolaan hutan yang lebih berorientasi pada peningkatan partisipasi/peran serta masyarakat adat, misalnya model pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Melalui model pengelolaan hutan seperti ini, maka masyarakat adat diberi peran yang setara dengan pemerintah dan pelaku usaha di bidang kehutanan untuk ikut terlibat dalam keseluruhan proses pengelolaan hutan.
HUTAN DAN MASYARAKAT ADAT
Masyarakat adat Papua pada umumnya mempunyai pandangan yang positif
terhadap hutan. Tebay (2007) menjelaskan
pandangan tersebut sebagai berikut: Orang Papua tidak pernah memandang hutan
alam hanya sebagai sebuah lautan pohon belaka yang harus ditebang untuk
menghasilkan jutaan dolar. Hutan bagi orang asli Papua, dari semua suku,
memiliki makna juga arti multi-dimensi. Oleh karena itu masyarakat asli Papua
tidak pernah menganggap hutan sebagai musuh yang harus di habiskan atau
dimusnahkan dari permukaan bumi. Mereka bahkan memandang hutan sebagai salah
satu bagian penting dari komunitas mereka.
Hutan juga merupakan sesuatu yang sakral bagi masyarakat adat Papua,
karena mereka percaya bahwa hutan adalah tempat tinggal arwah para leluhur dan
anggota keluarga mereka yang telah meninggal yang juga berperan sebagai penjaga
yang melindungi hutan, termasuk binatang dan tumbuhan, milik masyarakat adat.
Hutan juga merupakan tempat beribadah alami di mana mereka dapat melakukan
acara-acara ritual menurut kepercayaan mereka baik secara individu maupun komunitas. Masyarakat adat biasanya masuk ke
dalam hutan bila mereka ingin berkomunikasi dengan para leluhur atau anggota keluarga mereka
yang telah meninggal.
Pandangan dan hubungan yang begitu erat dan mendalam antara masyarakat
adat dengan hutan tersebut itulah yang biasanya dinyatakan dalam ungkapkan “Hutan adalah mama” (the
forest is our mother). Oleh karena itu masyarakat adat sesungguhnya menghargai
hutan sebagai seorang ibu yang tanpa kenal lelah mengasuh, melindungi dan
memelihara setiap anggota masyarakat. Begitu eratnya hubungan tersebut
terungkap pula dalam ungkapan berikut yaitu, “Hutan kita, hidup kita”.
Atas dasar pandangan tersebut maka setiap tindakan yang mengakibatkan
pengrusakan hutan, bagi masyarakat adat
Papua dilihat sebagai tindakan pengrusakan terhadap apotik/rumah obat dan supermarket hidup mereka. Juga dipandang
sebagai pengrusakan terhadap tempat peribadatan mereka serta pengusiran
terhadap arwah para leluhur dan anggota keluarga mereka, bahkan dapat dilihat
sebagai sebuah pemerkosaan terhadap ibu mereka.
Berdasarkan cara pandang tersebut di
atas maka bagi masyarakat adat Papua hutan bukan merupakan sesuatu yang
eksklusif atau terisolasi dari kehidupan mereka sehari-hari. Dengan perkataan
lain, hutan adalah sesuatu yang menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sehari-hari mereka, karena hutan mempunyai arti sebagai sebuah apotek
hidup (living pharmacy), yang menyediakan
segala macam kebutuhan obat-obat alami. Setiap saat bilamana mereka
membutuhkannya mereka dapat memperolehnya dengan mudah dari hutan sebagai
penyedia kebutuhan obat tersebut. Hutan juga merupakan sebuah tempat persediaan
makan (supermarket alami), karena menyediakan berbagai jenis sayur mayur,
buah-buahan, ikan dan hewan buruan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hutan
juga merupakan sumber material yang dibutuhkan untuk membangun rumah tinggal,
perahu, kebutuhan enersi (kayu bakar) dan pembuatan pagar untuk pengamanan
(Tebay, 2009)
Oleh karena itu demi untuk
mempertahankan keberlangsungan hidup
mereka, maka dari generasi ke generasi
ada suatu proses pembejaran bagi setiap anak di dalam sebuah masyarakat
adat mengenai pentingnya memelihara hubungan
yang harmonis/tepat dengan hutan.
Mereka sadar bahwa kelangsungan
eksistensi hutan menentukan eksistensi kehidupan dan segala aspek yang terkait
dengan eksistensi kehidupan mereka.
MASYARAKAT ADAT DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN
Sesuai amanat undang-undang maka tanggung jawab pengelolaan hutan
diberikan kepada pemerintah. Posisi
pemerintah seperti ini di masa lalu telah mengakibatkan terabaikkannya peran
dari stake holder lainnya, terutama masyarakat adat, untuk turut berperan serta
dan bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Keadan seperti ini mengakibatkan
berbagai program kehutanan dalam pengeloaan hutan yang sesungguhnya bertujuan
untuk mensejahterakan masyarakat khususnya masyarakat adat tidak maksimal. Hal
ini disebabkan karena komunitas
masyarakat adat yang umumnya hidup di dalam atau di sekitar hutan, pada umumnya
masih berada pada posisi sebagai buruh kerja hutan. Dalam kaitan dengan
pemanfaatan hasil hutan mereka hanya sesekali
diperbolehkan untuk memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu dalam
jumlah dan kualitas yang umumnya rendah yang tentunya tidak banyak memberi
pengaruh terhadap peningkatan kesejahtaraan dan peningkatan kualitas hidup
mereka. Oleh karena itu sebagian besar program-program pengelolaan hutan untuk
mensejahterakan masyarakat adat diwaktu lalu seperti HPH Bina Desa Hutan maupun
Pembangunan masyarakat desa hutan (PMDH), karena dilaksanakan bukan dalam
kerangka membangun dan memberdayakan masyarakat, tetapi lebih bersifat
“charity”, maka program-program tersebut sebagian besar gagal mewujudkan tujuannya yaitu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat adat pemilik hak ulayat yang wilayah
adatnya dijadikan areal operasi sebuah HPH. Dalam posisi masyarakat adat
seperti ini tentunya mereka tidak mempunyai hak untuk ikut menentukan kebijakan
pengelolaan hutan. Akibat lanjutnya
ialah bahwa masyarakat merasa tidak berkewajiban untuk turut menjaga dan
memelihara hutan.
Fakta mengenai proses degradasi hutan yang selama ini berlangsung dengan sangat cepat dan yang
telah menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan dan kehidupan, salah satu
penyebabnya adalah karena kurangnya keterlibatan masyarakat dalam posisi yang setara dengan stake holder
lainnya, di dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu pelibatan masyarakat adat
dalam pengeloaan hutan sekarang dan selanjutnya sesungguhnya merupakan suatu
keharusan, dalam rangka menjamin kelestarian fungsi dan manfaat hutan baik
lestari ekonomi, sosial maupun lingkungan bagi kesejahtaraan umat manusia
secara berkelanjutan pula.
Pengeloaan hutan (alam) di Papua ke depan harus didasarkan pada prinsip
pengelolaan hutan lestari dan prinsip pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat
dengan mengutamakann keuntungan ekonomi dan keuntungan ekologis (lingkungan
hidup) secara berimbang dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian sosial
budaya masyarakat lokal.
Agar masyarakat adat di Papua dapat berperan serta secara efektif dalam
pengelolaan hutan secara lestari maka mereka perlu diberdayakan dan diposisikan
sebagai subyek dan bukan hanya sebagai obyek dalam setiap tahapan dan proses
pembangunan kehutanan di Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar