Hutan mangrove atau sering disebut bakau, merupakan salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sudut sosial, ekonomi,dan ekologis.
Ekosistem
hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks
karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan
habitat berbagai satwa dan biota perairan.Fungsi utama sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia
berbagai kebutuhan hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Sumberdaya hutan
mangrove, selain dikenal memiliki potensi ekonomi sebagai penyedia sumberdaya
kayu juga sebagai tempat pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery
ground), dan juga
sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya,
juga berfungsi untuk menahan gelombang laut dan intrusi air laut kearah darat. Papua
menjadi salah satu dari 5 daerah dengan hutan mangrove terluas di Indonesia.
Hutan
mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove di Indonesia dan
satu dari areal yang terluas di dunia, yang sampai saat ini tidak mendapat
tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain.
Ekosistem
Hutan Mangrove
Hutan
mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut,
dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan hutan itu tidak
tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh dengan baik
didaerah pesisir yang terlindung, seperti delta dan estuaria. Lebih spesifik
lagi adalah tumbuhan yang berkembang di daerah tropika dan subtropika pantai
diantara batas-batas permukaan air pasang dan sedikit diatas rata-rata dari
permukaan air laut.
1). Tempat tumbuh berbagai jenis tumbuhan dan fauna.
Umali et al (1987) dalam Kusmana (1997) melaporkan
adanya sekitar 130 jenis tumbuhan yang hidup di habitat mangrove, baik berupa major
component of mangrove, minor component of mangrove maupun mangrove
associates. Secara umum hutan mangrove di kawasan Asia-Pasifik
didominasi oleh genera Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, dan Sonneratia.Fauna
yang hidup di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan fauna laut.Fauna
daratan, baik yang bersifat temporari maupun permanen menetap di mangrove,
terdiri atas : (a) burung (Anhinga anhinga, Egretta spp, dll), (b)
amphibia (Rana spp), (c) reptilia (Crocodilus porosus, Varanus
salvator, dll), (d) mamalia (Nasalis larvatus, Macaca irus, Presbytis
cristus, dll), dan (e) serangga (Aedes spp, Anopheles spp, Culicoides
spp)Fauna laut terdiri atas : (a) infauna yang hidup di lobang-lobang
dalam tanah yang didominasi oleh Crustaceae dan Bivalvia, (b)
epifauna yang mengembara diatas permukaan tanah yang didominasi oleh Moluska
(kerang-kerangan, Gastropoda) dan kepiting.
(2). Sebagai tempat
asuban (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground)
bagi berbagai jenis ikan, krustase dan moluska. Mangrove (disamping padang
lamun) merupakan penyedia sumber makanan (food source) utama bagi
berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting yang idup di ekosistem pesisir melalui
guguran serasah dari tumbuhan mangrove (terutama daun) yang mati.
Sebagian kecil serasah yang jatuh di lantai hutan akan langsung dimakan oleh
kepiting dan sebagian besar akan didekomposisi menjadi detritus oleh mikroba
yang menjadi sumber makanan bagi detrivora, yang selanjutnya detrivora
tersebut menjadi sumber makanan bagi karnivora. Contoh pemanfaatan mangrove, baik
langsung maupun tidak langsung di beberapa daerah di luar Papua, antara lain:
A. Arang dan Kayu Bakar
Arang
mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang
dan arang onshyu dari Cina.Pengusahaan arang mangrove di Indonesia sudah
dilakukan sejak ratusan tahun lalu, antara lain di Aceh, Riau, dan Kalimantan
Barat. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000 ton yang
sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan melalui
Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton, sedangkan
harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang mangrove tahun
1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000 (Inoue et al.,
1999).Jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B.
gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas
yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13.000,-/m3 yang
cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang anak. Kayu
bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup
untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi
masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak
melambung tinggi (Inoue et al., 1999).
B. Bahan Bangunan
Kayu
mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza sangat
cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya
lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an dengan diameter
10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,-
sampai Rp 9.000,-. Kayu ini diperoleh dari hasil penjarangan (Inoue et al.,
1999).
C. Bahan Baku Chip
Jenis
Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada tahun 1998
jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian
besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di Riau, Aceh,
Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar internasional kurang
lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).
D. Tanin
Tanin
merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan
Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industry sepatu,
tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan lem
untuk kayu lapis. Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai bahan pencelup
dengan harga 2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).
E. Nipah
Nipah
(Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi
masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang
dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap nipah
memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan
merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di waktu senggang.
Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan mangrove di Luwu Timur menopang
kehidupan 1.475 keluarga perajin atap nipah dengan hasil 460 ton pada tahun
1999.
F. Obat-obatan
Beberapa
jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional.Air rebusan R.
apiculata dapat digunakan sebagai astrigent.Kulit R. mucronata dapat
digunakan untuk menghentikan pendarahan.Air rebusan Ceriops tagal dapat
digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthusillicifolius
dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999).
G. Perikanan
Sudah
diulas di depan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan
menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1
ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas
pantai per tahunnya (Turner, 1977). Dari sini tampak bahwa keberadaan hutan
mangrove sangat penting bagi produktivitas perikanan pada perairan bebas. Dalam
mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat
dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan
program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Kegiatan silvofishery berupa empang
parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah
dimulai sejak tahun 1978.Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam
tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman
polowijo, dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak (Wirjodarmodjo dan Hamzah,
1984).
H. Pertanian
Keberadaan
hutan mangrove penting bagi pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai
pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai. Budidaya lebah madu juga
dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari Sonneratia sp. dapat
menghasilkan madu dengan kualitas baik. Tempat di areal hutan mangrove yang
masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam. Pembuatan garam
dapat dilakukan dengan perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu-kayu
mangrove yang mati. Di Bali, garam yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal
tidak pahit dan banyak mengandung mineral dengan harga di pasar lokal Rp
1.500,-/kg, sedangkan bila dikemas untuk dijual kepada turis harganya menjadi
US$ 6 per 700 gram (Rp 68.000,-/kg). Air sisa rebusan kedua dimanfaatkan untuk
produksi tempe dan tahu dan dijual dengan harga Rp 2.000,-/liter (Inoue et
al., 1999).
I. Pariwisata
Hutan
mangrove yang telah berhasil dikembangkan menjadi obyek wisata alam di
Indonesia antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung,
Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah).
Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam
lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut
memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran
tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang
memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang
untuk dijadikan areal wisata mangrove. Kegiatan wisata ini di samping
memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan
parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan
menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung
makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
Jelas
prospek pengembangan hutan mangrove sangat menjanjikan. Dibutuhkan paradigma
baru dalam memberikan sentuhan bagi pembangunan kehutanan di Papua, khususnya
pengembangan mangrove sehingga berdampak langsung bagi peningkatan ekonomi
masyarakat. Tata kelola inovatif, kreatif dan kerjasama semua pihak sangat
menentukan hasil akhir perjuangan membangun kehutanan Papua. Niat hati tulus
serta kerja keras tentunya akan membawa hasil. Harapan itu tetap ada, panjang
berderet seperti dereten hutan mangrove seolah meneriakan sambutan alam bagi
setiap yang datang agar tidak sebatas mengagumi tetapi juga akan memikirkan
cara bijak mengelola potensi yang sudah ada bagi kesejahteraan. Khususnya dalam
mendukung peningkatan ekonomi masyarakat pesisir di wilayah Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar