Sebagian besar Masyarakat
Adat Papua pada umumnya dan Masyarakat Adat Suku Asmat mempunyai pandangan
positif terhadap hutan. Masyarakat Adat
Asmat tidak pernah memandang hutan alam hanya sebagai sebuah pohon belaka yang
harus ditebang untuk menghasilkan uang.
Hutan bagi orang asli Asmat mempunyai makna sangat multi
dimensional. Oleh karena itu masyarakat
Asmat tepatnya di Kampung Manep Distrik Akat tidak pernah menganggap hutan
sebagai musuh yang harus dihabiskan atau dimusnahkan dari permukaan bumi. Mereka bahkan memandang hutan sebagai salah
satu bagian penting dari komunitas mereka.
Hutan juga merupakan
sesuatu yang sakral bagi masyarakat adat Asmat, karena mereka percaya bahwa
hutan adalah tempat tinggal arwah para leluhur dan anggota keluarga mereka yang
telah meninggal yang juga berperan sebagai penjaga yang melindungi hutan,
termasuk binatang dan tumbuhan, milik masyarakat adat. Hutan juga merupakan tempat beribadah alami
dimana mereka dapat melakukan acara-acara ritual menurut kepercayaan mereka
baik secara individu maupun komunitas.
Masyarakat adat Asmat biasanya masuk ke dalam hutan bila mereka ingin
berkomunikasi dengan para leluhur atau anggota keluarga mereka yang telah
meninggal.
Pandangan dan hubungan
yang begitu erat dan mendalam antara Masyarakat Adat dengan hutan tersebut
itulah yang biasanya dinyatakan dalam ungkapan “Hutan adalah mama (the forest is our mother). Oleh karena itu Masyarakat Adat sesungguhnya
menghargai hutan sebagai ibu yang tanpa kenal lelah mengasuh, melindungi dan
memelihara setiap angota masyarakat.
Begitu eratnya hubungan tersebut terungkap pula dalam ungkapan berikut :
“hutan kita, hidup kita” . Begitulah
ungkapkan masyarakat adat Asmat yang bisa menjadi contoh bagi kita semua.
Masyarakat adat Asmat
memiliki kemampuan dalam memahami kondisi karakteristik hutan yang ada di wilayah
adatnya. Mereka sangat mengetahui lokasi
kayu berada; dimana kayu dengan nilai ekonomi tinggi dan dimana kayu yang tidak
bernilai ekonomi tinggi. Salah satu kayu
hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi menurut Masyarakat di Kampung Manep
adalah kayu besi atau kayu merbau yang dalam istilah ilmu botani disebut: Intsia
bijuga O.K; Intsia palembanica Miq dan Intsia accuminata.
Di Papua, beberapa daerah memberi
nama lokal yang berbeda, seperti Rang/Tangibe
{Skou-Jayapura}, Pakvem
{Njou-Jayapura}, Babrie babilli {Sentani-Jayapura},
Bat {Kemtoek-Jayapura}, Djem {Hattam-Manokwari}, Plam {Amberbaken-Manokwari}, Osa {Waropen-Serui}, Kaboei {Numfor-Biak}-(sumber: Dinas Kehutanan Irian Jaya, 1976). Masyarakat Adat di Asmat sendiri memberi nama
daerah untuk kayu merbau dengan sebutan Paseh dan jerah. Menurut Masyarakat Asmat, salah satu ciri
Intia Palembanica dikatakan Paseh apabila memiliki ciro-ciri daun meruncing,
jumlah pasang anak daun lebih dari dua pasang atau 3-5 bahkan lebih, warna daun
cenderung lebih hijau muda dibanding Intia Bijuga, batang coklat kemerahan,
agar kasar dan dapat mengelupas. Untuk
Instia Bijua anak daun cenderung dua pasang, warna daun hijau tua, batang
kelabu hingga coklat muda, tekstur halus dan tidak mudah mengelupas. Pemahaman nama lokal diatas menunjukkan bahwa kayu
merbau sangat dikenal luas oleh masyarakat adat suku Asmat pada khususnya dan
masyarakat adat Papua pada umumnya, untuk itu harus dilestarikan dan
ditingkatkan untuk pengenalan jenis kayu lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar