Tanah Papua adalah satu-satunya Eden
Jardin (taman firdaus) yang masih ada
dan terlengkap di planet bumi, suatu daratan tertua di archipelago Indonesia
yang terbentuk sejak 195 juta tahun silam (Scotese, 1997). Hingga kini sekitar 80 % permukaannya masih
ditutupi hutan hujan tropis (Departemen Kehutanan, 2008) dan dijuluki raksasa
rainforest karena luasnya mencapai 42 juta hektar (Dephutbun, 1999). Papua adalah rumah bagi 50 % biodiversitas (Kadarusman
dan Nurhasan, 2008) terbentang
dari Kepulauan Raja Ampat hingga Jayapura di sebelah utara dan Merauke di
selatan merupakan potensi yang sangat besar sebagai modal dasar untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat. Provinsi Papua sebagai provinsi induk setelah dimekarkan memiliki luas
hutan 36,01
juta hektar, sekitar 21% merupakan hutan konservasi untuk pemanfaatan 7 unit Cagar Alam seluas
420.750,48 hektar, 9 unit Suaka Marga Satwa seluas 2.424.951,24 hektar, 1 unit
Taman Wisata Alam seluas 1.675.000 hektar dan 1 unit Taman Laut seluas
1.453.500 hektar (Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2008).
Didalam kawasan hutan terdapat berbagai
kekayaan keanekaragaman hayati. Menurut Indonesian
Biodiversity Strategic Action Plan (2003) di belantara hutan Papua terdapat 602
jenis unggas (52 % endemik), 125 jenis mamalia (58 % endemik), 223 jenis reptil
(35 % endemik), 1030 jenis tanaman (55 %
endemik). Kalau kita tinjau pada
Kawasan Lorentz, di pegunungan selatan Papua, adalah salah satu area yang
memiliki keanekaragaman hayati tertinggi, yaitu terdapat 80 % total mamalia dan
65 % jenis burung yang ada di Papua terdapat di kawasan ini. Atas dasar itu, UNESCO pada tahun 1999
meresmikan kawasan Lorentz sebagai Herritage Natural terbesar di Asia Tenggara
dengan luas 25.056 Km2 (Kadarusman & Nurhasan 2008).
Kekayaan
tersebut akhir-akhir ini mulai terancam keberadaannya. Diantaranya dapat
disebabkan oleh beberapa faktor alam, diantaranya : 1) keadaan alam
geomorfologi yang rentan terhadap erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan,
2) iklim/curah hujan yang tinggi yang berpotensi menimbulkan daya merusak
lahan/tanah, 3) aktifitas manusia diantaranya konversi kawasan hutan untuk
tujuan pembangunan sektor lain misalnya perkebunan dan transmigrasi,
perambahan, telah menyebabkan penutupan lahan pada kawasan hutan berubah dengan
cepat dimana kondisi hutan semakin menurun dan berkurang luasnya. Akibat ancaman ini menyebabkan beberapa jenis
flora mulai terancam punah, misalnya merbau (instia bijuga), meranti (Shorea sp), kayu soan, dll. Di Papua tercatat 60 jenis tumbuhan yang
dikategorikan sangat terancam, terancam dan rentan (IUCN, 2004).
Banyak program
rehabilitasi dan konservasi yang telah dilaksanakan namun belum memberikan hasil yang maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta
kerusakan hutan di Papua mencapai angka 143.680 ha/tahun (Dephut, 2008).
Untuk
mengembalikan kondisi hutan yang telah mengalami penurunan kualitas lingkungan,
maka pemerintah tekah menggalakkan gerakan nasional yang dikenal dengan istilah
GN-RHL dan beberapa kegiatan derivasinya diantaranya Kecil Menanam Dewasa
Memanen (KMDM), Kampanye Indonesia Menanam (KIM) dan Gerakan Indonesia Menanam
(GIM) serta belakangan ini di keluarkan program gerakan menanam satu juta pohon
(One Billion Tress For Indonesia).
GN-RHL ditelorkan sebagai gerakan nasional untuk terwujudnya
penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan secara
terkoordinasi, terencana dan terpadu dengan peran serta semua pihak melalui
mobilisasi sumberdaya untuk upaya percepatan rehabilitasi hutan dan lahan yang
terdegradasi. Kegiatan ini perlu
pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya.
Memang benar, kegiatan ini telah menciptakan usaha baru bagi perusahaan
atau produsen penangkar bibit, tetapi apakah target penanaman tercapai atau
terpenuhi untuk rehabilitasi hutan dan lahan yang telah terdegradasi? Karena
banyak temuan di lapangan bibit yang siap tanam dan sudah ditanam banyak yang
mati serta yang lebih parah ada kasus proyek penanaman fiktif. Menurut hemat kami, salah satu kendala utama
dari kegiatan ini adalah terpusatnya kegiatan di UPT BP-DAS, sehingga terkesan
kental dengan keproyekan.
Selain GN-RHL,
pemerintah melalui Menteri Kehutanan telah menggalakan program ‘Kecil Menanam
Dewasa Memanen (KMDM)’ dengan sasaran siswa/i sekolah dasar dengan bentuk
kegiatan aktifitas penyediaan bibit dan penanaman sebagai sarana pembelajaran. Kaitannya
dengan program ini telah menginisiasi kegiatan penanaman jenis pohon lokal
Papua.
Berangkat dari
gambaran umum diatas, maka melalui tulisan ini kami ingin menyampaikan salah
satu gerakan penanaman lokal Papua sebagai saudara kandung program yang selama
ini digalakkan oleh pemerintah khususnya kebijakan konservasi keanekaragaman
flora. Gerakan ini kami beri nama “GERAKAN MENANAM SERATUS POHON SATU KAMPUNG”.
Kenapa harus
dimulai dari kampung ? Berdasarkan struktur pemerintahan sebagai amanat UU
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan khususnya di Papua dengan
memposisikan kampung sebagai level pemerintahan terbawah. Artinya semua konsep dan kebijakan
pembangunan nasional dan daerah harus diimplementasikan melalui kampung. Dari kampunglah semua program
dikerjakan. Kampung memiliki struktur
(perangkat) pemerintahan sangat
sederhana sehingga tidak rumit jika berhadapan dengan birokrasi. Di Kampung juga ada Badan Musyawarah Kampung
(Bamuskam) dan tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda yang akan mementukan
kegiatan apa yang harus dilakukan untuk disingkronkan dengan program pemerintah
yang lebih tinggi levelnya. Pertanyaan
berikutnya adalah kenapa seratus pohon satu kampung ?
Berdasarkan
data terakhir di BPS tercatat ada 3250 kampung di Papua. Jika setiap kampung menanam 100 pohon endemik
(secara ekonomi berpotensi) dan terancam langka dan punah maka minimal
3.250.000 pohon ditanam setiap tahunnya.
Dan jenis-jenis tanaman tersebut dapat dipilih oleh masyarakat
berdasarkan aspek kegunaan, aspek sosial budaya dan aspek keindahan kemudian
dikomunikasikan melalui Musyawarah Kampung untuk selanjutnya ditentukan jenis
mana yang akan ditanam. Model penanaman
bisa dilakukan di ruang publik (sekolah, kantor kampung, sepanjang jalan, lahan
terbuka, hutan adat, dll). Keuntungan
yang diperoleh pemerintah adalah tidak repot-repot mengusahakan kawasan
konservasi ex-situ untuk konservasi
pohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar