Perubahan Iklim dan Kehutanan
Seperti telah disebutkan, perubahan iklim
diyakini merupakan dampak dari konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK), terutama
karbon dioksida. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang mengkaji
ilmu pengetahuan dalam fenomena tersebut, telah menyimpulkan bahwa kegiatan
manusia di hutan memiliki pengaruh nyata terhadap konsentrasi karbon dioksida
di atmosfer (Brown et al., 1995). Hutan berfungsi sebagai reservoir
karbon dengan cara menyimpan sejumlah besar karbon di dalam pohon, vegetasi
atau tumbuhan bawah, lantai hutan, dan tanah. Di samping itu, perubahan di
dalam hutan, seperti halnya pertumbuhan pepohonan, dapat menghilangkan atau
mengurangi karbon dioksida dari atmosfer. Jadi hutan dapat berfungsi sebagai
suatu rosot (sink) untuk menyerap emisi dari aktivitas manusia maupun
sumber-sumber alamiah lainnya. Kemampuan sink potensial dari seluruh hutan di
dunia sangat besar : suatu program hutan global yang layak dapat menghapus
setara dengan 12 hingga 15 persen dari total emisi karbon dioksida yang dihasilkan
dari bahan bakar fosil antara saat ini sampai dengan 2050, dan jumlahnya
meningkat sampai 25 persen jika diasumsikan penggunaan yang luas dari kayu yang
dipanen secara lestari sebagai pengganti produk manufaktur yang menggunakan
energi dalam jumlah besar (Brown et al., 1995). Hutan tropis dapat
menyerap 80 persen emisi karbon dioksida. Sebaliknya, ketika aktivitas manusia
merusak hutan, baik potensi reservoir maupun sink karbon menjadi rusak pula,
sehingga hutan dapat menjadi sumber emisi karbon dioksida. Pada tahun 1980an
perubahan penggunaan lahan terutama deforestrasi, menyumbangkan sekitar 25
persen dari total emisi karbon akibat aktivitas manusia di dunia (Brown et
al., 1995). Kebakaran hutan yang tidak terkendali selama enam bulan di
hutan-hutan tropis, misalnya di Indonesia saja, menghasilkan emisi karbon
dioksida lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh semua sumber antropogenik
di Uni Eropa selama setahun (Sander, 1997). Karena hutan memegang peranan ganda
dan nyata dalam mengatur konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, maka proyek
yang menanam, mengelola, dan melindungi hutan dapat menjadi cara penting untuk
mitigasi perubahan iklim. Dalam banyak kasus, proyek-proyek kehutanan karbon
dapat mengurangi emisi karbon dioksida lebih efektif dari segi biaya
dibandingkan dengan proyek-proyek yang menggantikan penggunaan bahan bakar
fosil untuk energi (Totten, 1999). Selain itu, proyek kehutanan karbon dapat
mendorong terciptanya manfaat sosial dan lingkungan sebagai konservasi
keanekaragaman hayati, perlindungan daerah tangkapan air, transfer teknologi
kehutanan yang lestari, dan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat lokal.
Proyek kehutanan karbon dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk. Secara garis besar ada dua jenis proyek yang dapat dikembangkan,
walaupun dapat pula masuk dalam keduanya, yaitu: (1) Proyek peningkatan sink yang tujuannya adalah untuk meningkatkan
kemampuan hutan sebagai sink. Termasuk ke dalam kategori ini adalah proyek
aforestrasi dan reforestrasi (penghutanan kembali), yang membentuk hutan baru
atau memperbaiki kemampuan hutan yang ada untuk menyerap karbon dioksida dari
atmosfer. Proyek demikian dapat menggabungkan pengayaan pertanaman dan agroforestry, di antara sekian banyak
strategi lainnya; (2) Proyek penurunan
emisi dapat mencegah atau meminimumkan deforestrasi akibat faktor manusia;
mencegah degradasi hutan menjadi sumber emisi. Proyek yang demikian dapat
berupa pengurangan penebangan hutan, pencegahan konversi hutan menjadi tahan
pertanian, atau mendorong adopsi praktek pengelolaan hutan secara lestari. Jika
tidak, maka emisi dapat terjadi akibat aktivitas manusia yang melepaskan karbon
dioksida dari tanah, serasah, dan pohon. Oleh sebab itu proyek penurunan emisi
memberikan pengaruh penurunan emisi di masa yang akan datang dari hutan.
Protokol Kyoto
Tujuan Protokol Kyoto, yang merupakan hasil
negosiasi pada tahun 1997 di antara para delegasi lebih dari 160 negara, adalah
stabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer pada suatu level yang dapat mencegah
gangguan antropogenik berbahaya terhadap sistem iklim. Hingga saat ini,
sejumlah negara telah meratifikasi Protokol Kyoto untuk masuk ke dalam
ketentuan sesuai hukum internasional.
Untuk mencapai tujuan yang telah dinyatakan,
Protokol mulanya membagi negara-negara di dunia menjadi dua kelompok:
negara-negara Annex I, yang terdiri dari negara-negara industri, dan
negara-negara non-Annex I, yang terdiri dari negara-negara berkembang. Protokol
kemudian membuat “komitmen pengurangan dan pembatasan emisi terkuantifikasi”
bagi setiap negara Annex I. Untuk saat ini, negara-negara non-Annex I belum
terikat kepada komitmen pengurangan emisi.
Komitmen untuk setiap negara Annex I berupa
neraca yang ketat bagi total emisi GRK, yang disebut sebagai assigned amount
(jumlah yang ditetapkan). Jumlah yang ditetapkan tersebut berlaku selain tahun
2008 hingga 2012, atau yang disebut periode komitmen. Artikel 13 dari Protokol
menetapkan suatu kerangka kerja akuntansi untuk penentuan bagaimana emisi dari
berbagai kegiatan mesti menghitung ke arah jumlah yang ditetapkan bagi suatu
negara. Sebagian besar negara-negara Annex I harus telah mengurangi total emisi
nasional mereka pada tahun 2008 hingga 2012 sehingga tidak melampaui jumlah
yang ditetapkan.
Protokol menetapkan sejumlah mekanisme kerja sama
yang memungkinkan sebuah negara Annex I untuk memenuhi komitmennya melalui
upaya kerja sama dengan negara-negara lainnya. Alasan dibuatnya mekanisme
tersebut adalah bahwa atmosfer tidak dapat dibatasi oleh lokasi geografis dari
sebuah sumber emisi GRK, tetapi biaya pengurangan emisi sangat beragam antar
negara. Mekanisme tersebut dirancang untuk memungkinkan bagi negara Annex I,
seperti Amerika Serikat, untuk mencapai jumlah emisi yang ditetapkan melalui
sejumlah kegiatan domestik maupun internasional dengan biaya terendah. Dua di
antara mekanisme ditetapkan di dalam Artikel 6 dan 12 dari Protokol. Artikel 6
memberi wewenang suatu negara Annex I, atau pihak swasta dari negara tersebut,
untuk berinvestasi di dalam sebuah proyek mitigasi perubahan iklim di negara
Annex I lainnya. Dengan persetujuan oleh negara tuan rumah, negara investor
menerima “unit pengurangan emisi”, yang dapat ditambahkan ke dalam jumlah yang
ditetapkan bagi negara investor tersebut. Artikel 12 memberi wewenang kepada
sebuah negara Annex I, atau atau pihak swasta dari negara tersebut, untuk
berinvestasi di dalam sebuah proyek mitigasi perubahan iklim di negara
non-Annex I melalui Clean Development Mechanism (CDM). Proyek CDM harus
memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan di negara tuan rumah. Jika
disetujui, negara investor dapat menambahkan “pengurangan emisi besertifikasi”
ke dalam jumlah yang ditetapkan bagi negara investor tersebut.
Seperti halnya CDM sektor lain, CDM Kehutanan
memiliki berbagai pemasalahan teknis yang hingga COP VIII belum berhasil
disepakati. Beberapa permasalahan teknis adalah baseline, non permanence (CER
yang dihasilkan), ketidakpastian, kebocoran, adisionalitas, dampak sosial
ekonomi dan dampak pada ekosistem alam. Kesemuanya masih terus dibicarakan dasar
pelaksanaan CDM Kehutanan.
Walaupun CDM Kehutanan dianggap sebagai langkah
yang baik, namun tetap menimbulkan sikap pro dan kontra antar negara. Kelompok
negara yang pro melihat CDM Kehutanan sebagai alternatif penurunan emisi GRK
dengan biaya rendah serta adanya alasan perbaikan sektor kehutanan. Adapun yang
menolak CDM Kehutanan adalah negara-negara yang telah menyatakan akan memenuhi
target penurunan emisi dalam negeri secara signifikan, mempunyai potensi CDM
sektor lain yang tinggi, maupun mempunyai kerentanan yang sangat tinggi.
International Emission Trading (IET) Kehutanan
Isu perdagangan emisi atau Emission Trading
berasal dari AS dalam skema Joint Implementation (JI). Menurut AS
perdagangan emisi bisa menurunkan emisi global lebih efektif dan kedua negara
yang terlibat sama-sama untung.
Konsep perdagangan karbon yang dilakukan
sebenarnya adalah Perdagangan Reduksi Emisi Besertifikat (RES) atau Certified
Emission Trading (GET). Nilai CET tergantung dan banyaknya biomas yang ada
dalam sistem “agro-perhutanan” yang dibangun, yaitu biomas yang dihasilkan dari
pertumbuhan. Perdagangan ini dapat berlangsung karena adanya perbedaan biaya
reduksi emisi antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Ada lokasi yang
memerlukan biaya tinggi untuk reduksi emisi dan ada pula lokasi-lokasi yang
membutuhkan biaya tinggi untuk reduksi emisi dan ada pula lokasi-lokasi yang
membutuhkan biaya lebih murah untuk reduksi emisi tersebut. Prinsipnya, dalam
perdagangan karbon emisi dijadikan dalam sebuah rata-rata (dari lokasi emsi
rendah dengan lokasi lain yang beremisi tinggi).
Biaya reduksi emisi di negara maju lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan di negara berkembang. Untuk
itu negara maju menanamkan investasinya di negara berkembang dengan harapan
mereka memperoleh reduksi yang lebih murah. Contoh sederhana ilustrasi
perdagangan reduksi emisi adalah sebagai berikut: misal kita membuat patokan
harga karbon diasumsikan US$ 5/ton C dan setiap hektar lahan menghasilkan
rata-rata 25 ton C/ha/tahun, maka untuk merehabilitasi kerusakan hutan di
Indonesia yang diperkirakan seluas 90 juta ha (data BPS 2005) dengan memakai
nilai tukar rupiah Rp. 9.500,-, kita akan mendapatkan dana dari memperdagangkan
GET tersebut sebesar 90 x 25 x US$ 5 x Rp. 9.500,- = Rp. 106.875.000/thn atau
US$ 11,25. Contoh tersebut menunjukkan bahwa selain memperoleh dana yang cukup
besar jika dibandingkan dengan pinjaman Bank Dunia yang hanya US$ 400
juta/tahun, kita juga dapat melestarikan lingkungan dengan merehabilitasi
kerusakan hutan (Kartikawati; Lastini; dan Arulita, 2001).
GET dalam perdagangan karbon merupakan dana
insentif untuk memelihara hutan yang direhabilitasi. Hal ini disebabkan karena
jika hutan rusak dan terganggu maka kandungan karbon menurun dan nilai GET pun
menurun.
Selanjutnya apabila protokol pengurangan emisi
ini disepakati maka kecenderungan penghambatan gas rumah kaca baik melalui
konsumsi bahan bakar fosil atau penebangan hutan akan mulai dibatasi.
Sebaliknya, negara maju (terutama negara Amerika) memanfaatkan sistem
perdagangan karbon dengan menginvestasikan dana reduksi emisi di negara
berkembang untuk menghindari komitmennya untuk mengurangi emisi.
Dilihat dari sudut pandang ekologi, perdagangan
karbon akan memicu dan memacu adanya kajian keanekaragaman hayati, terutama
mengenai daya serap karbon dari tiap vegetasi. Di samping itu juga
mempertahankan keberadaan sumber daya alam yang dapat mereduksi emisi gas rumah
kaca, sehingga sumber daya alam akan dilihat tidak saja sebagai sumber daya
alam yang dapat dinikmati secara gratis sebagai barang publik, tetapi mempunyai
nilai dari keberadaannya.
Paradigma Baru Kehutanan
Sejak diumumkannya Undang-undang No. 1 tahun 1969
tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang No. 8 tahun 1969 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), maka sektor kehutanan mulai menunjukkan
kemilaunya sebagai sumber devisa andalan yang mempesona Rimbawan Muda. Sejak
itu paradigma kehutanan yang berlaku adalah hutan sebagai penghasil kayu.
Pemanenan hutan dilakukan secara besar-besaran, sehingga dalam waktu singkat (±
20 tahun) seluruh kawasan HPH sudah dipanen yang seharusnya diselesaikan dalam
35 tahun. Kerusakan ekosistem mulai dirasakan di berbagai tempat di Indonesia.
Namun dengan adanya inisiatif global seperti
Protokol Kyoto maka kini kita ditantang untuk melihat hutan dengan sudut
pandang yang berbeda. Dengan protokol tersebut hutan harus dilihat dalam
konteks hutan dan komponen-komponennya. Hal ini berarti telah terjadi perubahan
paradigma. Kini paradigma kehutanan adalah hutan dan lingkungan.
Dalam paradigma baru Rimbawan dan praktisi lain
yang berkaitan dengan vegetasi hutan pada ekosistem daratan ditantang untuk
mempraktekkan pengetahuan dan keahliannya pada spektrum yang luas, yakni
lingkungan global. Untuk itu kini hutan bukan sekedar tumpukan devisa yang bisa
mendatangkan keuntungan sesaat, yang sering juga menimbulkan bencana kalau
dimanfaatkan tanpa kendali. Akan tetapi hutan merupakan komoditas yang harus
diatur secara optimal dengan pola hutan lestari.
CDM dan IET Kehutanan merupakan pemicu perubahan
paradigma kehutanan yang harus dipelajari secara seksama. Hal ini dilakukan
bukan hanya sekedar mendapatkan uang semata tetapi lebih ditunjukkan untuk
menata kondisi kehutanan yang sudah carut-marut. Tidak kalah penting adalah
menata pendidikan kehutanan di pendidikan tentang kepedulian terhadap hutan dan
semua komponen di dalamnya sebagai satu kesatuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar