S
|
elama tiga dasawarsa, kebijakan pembangunan
kehutanan di Provinsi Papua masih berorientasi pada “timber management”, dengan
menggunakan
teknologi modern dan atau alat-alat berat mekanis. Kebijakan dengan orientasi
kayu ini belum mampu mengatasi permasalahan kemiskinan. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan setiap
kebijakan pembangunan daerah dibidang kehutanan yaitu pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat seluruh lapisan masyarakat.
Hal yang terjadi sesungguhnya adalah informasi yang luas beredar hanya
mengenai keberhasilan kehutanan sebagai sektor perekonomian andalan (leading
sector) selain migas dalam rangka untuk meningkatkan devisa negara dan
pendapatan asli daerah (PAD). Sementara itu,
keperpihakan masyarakat lokal yang menjadikan hutan sebagai multidimensional
kehidupannya tidak terekspos. Dampak
keberadaan masyarakat lokal dan kepentingannya terhadap sumberdaya hutan belum
dapat diterjemahkan secara utuh dalam pengelolaan sumberdaya.
Kebijakan dan peraturan di bidang kehutanan
yang berorientasi konvesional pada “timber
management” (walaupun telah mengalami perubahan dari sistem pemerintahan
sentralistik), diyakini menjadi salah satu pemicu lajunya deforestrasi dan munculnya konflik terhadap pemanfaatan dan
pengelolaan hutan. Sebenarnya dalam setiap perjanjian kehutanan yang
ditandatangani sebelum ijin konsesi hutan diberikan, tercantum ketentuan bahwa
setiap pemegang konsesi hutan dibebani misi sosial untuk memperhatikan
kepentingan dan kehidupan masyarakat lokal/tradisional di sekitar areal
kerja. Kewajiban sosial ini telah
didesain bagi pemegang HPH dan HPHTI berupa Bina Desa Hutan dan Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Sebagian besar pemegang konsesi hutan ternyata
tidak sungguh-sungguh melaksanakan kewajiban sosialnya. Kewajiban sosial tersebut lebih banyak
dimanfaatkan untuk “show window”
karena lebih menekankan pada bantuan-bantuan perangkat keras bukan dalam arti
pemberdayaan masyarakat. Oleh karenanya harapan dampak dari kegiatan
pengusahaan hutan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat tidak terlibat
secara berkelanjutan.
Guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang tinggal di dalam
maupun di sekitar kawasan hutan, pemerintah daerah telah
dan akan
melakukan berbagai upaya untuk
memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, seperti
program hutan kemasyarakatan, program hutan rakyat, program sosial forestry dan
sebagainya. Bahkan pada awal tahun 2007
ini, terdapat suatu program baru yang dinamakan Hutan Tanaman Rakyat atau
disebut HTR. Disamping untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, program ini juga mempunyai tujuan
mengatasi kekurangan pasokan bahan baku kayu serta merehabilitasi kawasan hutan
produksi yang rusak. Salah satu model
yang akan dikembangkan dalam HTR adalah pola kemitraan.
Hingga kini, pola kemitraan dalam pengusahaan
atau pemanfaatan hutan belum banyak dilakukan oleh pemerintah maupun pengusaha.
Walaupun terdapat sebagian perusahaan yang telah melakukan pola kemitraan dalam
pembangunan hutan tanaman industri, namun
upaya tersebut belum menempatkan masyarakat sebagai mitra yang sejajar. Mereka
sering berada pada posisi yang lemah, khususnya akses untuk mengetahui
kebutuhan bahan baku (input produksi, jumlah hasil produksi, maupun penentuan
harga jual. Akibatnya sistem bagi hasil
yang mereka peroleh dari kerjasama tersebut sering kurang menguntungkan bagi
masyarakat.
Berdasarkan kondisi dan fakta di lapangan dalam rangka
meningkatkan kinerja pembangunan hutan tanaman rakyat di Provinsi Papua dengan melihat segala potensi, minat
masyarakat, kendala permasalahan dan kebijakan yang mendukung, maka ada
beberapa rekomendasi yang diberikan terkait dengan pengembangan HTR, sebagai berikut : (1) Inventarisasi
dan sosialisasi program
Hutan Tanaman Rakyat kepada seluruh stakeholder. Inventarisasi
dan sosialisasi stakeholder harus dilakukan kepada berbagai pihak, antara lain
: unsur pemerintah, DPRD, Tokoh Masyarakat, Lembaga Adat, Akademisi, Perguruan
Tinggi, Organisasi Kepemudaan, Pengusaha/Perusahaan, LSM dan unsur lainnya
secara partisipatif;
(2) Kebijakan dan jaminan
hukum. Selain PP No 6 Tahun 2007, didalam
pelaksanaannya harus ada kebijakan teknis oleh pemerintah daerah yang mengatur
mulai dari perencanaan sampai dengan pasca panen, agar setiap komponen yang
terlibat mempunyai tanggungjawab, wewenang, hak dan kewajiban secara
proporsional. Selanjutnya harus ada
jaminan hukum menyangkut kepastian areal yang akan dikelola oleh
masyarakat/kelompok peserta. Hal ini penting karena permasalahan tata batas
wilayah merupakan salah satu penyebab utama konflik yang sering terjadi; (3) Penentuan kesepakatan bersama. Menentukan visi, misi
dan strategi serta program perencanaan, pengelolaan dan penetapan kebijakan
yang berkaitan dengan pola kerjasama (kemitraan) antara masyarakat dan mitra
kerja dalam pengembangan hutan tanaman rakyat; (4) Penyusunan struktur kelembagaan/organisasi. Pengembangan HTR diperlukan suatu
lembaga/organisasi untuk memudahkan dalam koordinasi diantara para partisipan
dalam masyarakat dan mitra kerjanya; (5) Pemberian
mandat. Pemberian mandat diberikan
kepada personil partisipan dalam masyarakat yang dianggap mampu mengimplementasikan rencana
kegiatan yang akan dilakukan dalam jangka waktu tertentu dengan dibantu
perangkat pendukung lainnya disesuaikan dengan kebutuhan kerja yang akan
dilakukan; (6) Komoditi yang aspiratif. Masyarakat sebagai mitra kerja dalam
menentukan komoditi yang akan ditanam harus dilibatkan, sehingga komoditi yang
dikembangkan merupakan hasil kesepakatan bersama yang didasarkan pada aspek
ekonomi maupun aspek-aspek lainnya; (7) Pembagian
kerja. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan pencapaian target yang diinginkan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam pengembangan HTR; (7) Jaminan akses pasar
dan ketersediaan teknologi. Harus ada
jaminan bahwa komoditi yang dikembangkan tersedia pasarnya, sehingga setiap produk
yang dihasilkan tidak akan mengalami kesulitan didalam pemasarannya. Selain
itu, diperlukan juga adanya ketersediaan teknologi berupa benih unggul,
penanganan pasca panen dan pengendalian hama dan penyakit; (8) Pembinaan dan pendampingan. Dalam pelaksanaan
pembangunan HTR, harus ada tenaga yang membina dan melakukan pendampingan
secara berkelanjutan sampai terciptanya masyarakat yang mandiri untuk melakukan
pengelolaan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar