Pages

Sabtu, 24 Oktober 2015

MENGGAGAS GERAKAN MENANAM


Tanah Papua adalah satu-satunya Eden Jardin (taman firdaus) yang masih ada dan terlengkap di planet bumi, suatu daratan tertua di archipelago Indonesia yang terbentuk sejak 195 juta tahun silam (Scotese, 1997).  Hingga kini sekitar 80 % permukaannya masih ditutupi hutan hujan tropis (Departemen Kehutanan, 2008) dan dijuluki raksasa rainforest karena luasnya mencapai 42 juta hektar (Dephutbun, 1999).  Papua adalah rumah bagi 50 % biodiversitas (Kadarusman dan Nurhasan, 2008) terbentang dari Kepulauan Raja Ampat hingga Jayapura di sebelah utara dan Merauke di selatan merupakan potensi yang sangat besar sebagai modal dasar untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.  Provinsi Papua sebagai provinsi induk setelah dimekarkan memiliki luas hutan 36,01 juta hektar,  sekitar 21%  merupakan hutan konservasi untuk  pemanfaatan 7 unit Cagar Alam seluas 420.750,48 hektar, 9 unit Suaka Marga Satwa seluas 2.424.951,24 hektar, 1 unit Taman Wisata Alam seluas 1.675.000 hektar dan 1 unit Taman Laut seluas 1.453.500 hektar (Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2008). 

Didalam kawasan hutan terdapat berbagai kekayaan keanekaragaman hayati.  Menurut Indonesian Biodiversity Strategic Action Plan (2003) di belantara hutan Papua terdapat 602 jenis unggas (52 % endemik), 125 jenis mamalia (58 % endemik), 223 jenis reptil (35 % endemik), 1030 jenis tanaman (55 %  endemik).  Kalau kita tinjau pada Kawasan Lorentz, di pegunungan selatan Papua, adalah salah satu area yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi, yaitu terdapat 80 % total mamalia dan 65 % jenis burung yang ada di Papua terdapat di kawasan ini.  Atas dasar itu, UNESCO pada tahun 1999 meresmikan kawasan Lorentz sebagai Herritage Natural terbesar di Asia Tenggara dengan luas 25.056 Km2 (Kadarusman & Nurhasan 2008).

Kekayaan tersebut akhir-akhir ini mulai terancam keberadaannya. Diantaranya dapat disebabkan oleh beberapa faktor alam, diantaranya : 1) keadaan alam geomorfologi yang rentan terhadap erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan, 2) iklim/curah hujan yang tinggi yang berpotensi menimbulkan daya merusak lahan/tanah, 3) aktifitas manusia diantaranya konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan sektor lain misalnya perkebunan dan transmigrasi, perambahan, telah menyebabkan penutupan lahan pada kawasan hutan berubah dengan cepat dimana kondisi hutan semakin menurun dan berkurang luasnya.  Akibat ancaman ini menyebabkan beberapa jenis flora mulai terancam punah, misalnya merbau (instia bijuga), meranti (Shorea sp), kayu soan, dll.  Di Papua tercatat 60 jenis tumbuhan yang dikategorikan sangat terancam, terancam dan rentan (IUCN, 2004).

Banyak program rehabilitasi dan konservasi yang telah dilaksanakan namun belum  memberikan hasil yang maksimal.  Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta kerusakan hutan di Papua mencapai angka 143.680 ha/tahun (Dephut, 2008).

Untuk mengembalikan kondisi hutan yang telah mengalami penurunan kualitas lingkungan, maka pemerintah tekah menggalakkan gerakan nasional yang dikenal dengan istilah GN-RHL dan beberapa kegiatan derivasinya diantaranya Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM), Kampanye Indonesia Menanam (KIM) dan Gerakan Indonesia Menanam (GIM) serta belakangan ini di keluarkan program gerakan menanam satu juta pohon (One Billion Tress For Indonesia).  GN-RHL ditelorkan sebagai gerakan nasional untuk terwujudnya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan secara terkoordinasi, terencana dan terpadu dengan peran serta semua pihak melalui mobilisasi sumberdaya untuk upaya percepatan rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi.  Kegiatan ini perlu pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya.  Memang benar, kegiatan ini telah menciptakan usaha baru bagi perusahaan atau produsen penangkar bibit, tetapi apakah target penanaman tercapai atau terpenuhi untuk rehabilitasi hutan dan lahan yang telah terdegradasi? Karena banyak temuan di lapangan bibit yang siap tanam dan sudah ditanam banyak yang mati serta yang lebih parah ada kasus proyek penanaman fiktif.  Menurut hemat kami, salah satu kendala utama dari kegiatan ini adalah terpusatnya kegiatan di UPT BP-DAS, sehingga terkesan kental dengan keproyekan.

Selain GN-RHL, pemerintah melalui Menteri Kehutanan telah menggalakan program ‘Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM)’ dengan sasaran siswa/i sekolah dasar dengan bentuk kegiatan aktifitas penyediaan bibit dan penanaman sebagai sarana pembelajaran. Kaitannya dengan program ini telah menginisiasi kegiatan penanaman jenis pohon lokal Papua.

Berangkat dari gambaran umum diatas, maka melalui tulisan ini kami ingin menyampaikan salah satu gerakan penanaman lokal Papua sebagai saudara kandung program yang selama ini digalakkan oleh pemerintah khususnya kebijakan konservasi keanekaragaman flora. Gerakan ini kami beri nama “GERAKAN MENANAM SERATUS POHON SATU KAMPUNG”.

Kenapa harus dimulai dari kampung ? Berdasarkan struktur pemerintahan sebagai amanat UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan khususnya di Papua dengan memposisikan kampung sebagai level pemerintahan terbawah.  Artinya semua konsep dan kebijakan pembangunan nasional dan daerah harus diimplementasikan melalui kampung.  Dari kampunglah semua program dikerjakan.  Kampung memiliki struktur (perangkat) pemerintahan  sangat sederhana sehingga tidak rumit jika berhadapan dengan birokrasi.  Di Kampung juga ada Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) dan tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda yang akan mementukan kegiatan apa yang harus dilakukan untuk disingkronkan dengan program pemerintah yang lebih tinggi levelnya.  Pertanyaan berikutnya adalah kenapa seratus pohon satu kampung ?

Berdasarkan data terakhir di BPS tercatat ada 3250 kampung di Papua.  Jika setiap kampung menanam 100 pohon endemik (secara ekonomi berpotensi) dan terancam langka dan punah maka minimal 3.250.000 pohon ditanam setiap tahunnya.  Dan jenis-jenis tanaman tersebut dapat dipilih oleh masyarakat berdasarkan aspek kegunaan, aspek sosial budaya dan aspek keindahan kemudian dikomunikasikan melalui Musyawarah Kampung untuk selanjutnya ditentukan jenis mana yang akan ditanam.  Model penanaman bisa dilakukan di ruang publik (sekolah, kantor kampung, sepanjang jalan, lahan terbuka, hutan adat, dll).  Keuntungan yang diperoleh pemerintah adalah tidak repot-repot mengusahakan kawasan konservasi ex-situ untuk konservasi pohon.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar