Pages

Jumat, 23 Oktober 2015

PERUBAHAN PARADIGMA KEHUTANAN

Perubahan Iklim dan Kehutanan
Seperti telah disebutkan, perubahan iklim diyakini merupakan dampak dari konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang mengkaji ilmu pengetahuan dalam fenomena tersebut, telah menyimpulkan bahwa kegiatan manusia di hutan memiliki pengaruh nyata terhadap konsentrasi karbon dioksida di atmosfer (Brown et al., 1995). Hutan berfungsi sebagai reservoir karbon dengan cara menyimpan sejumlah besar karbon di dalam pohon, vegetasi atau tumbuhan bawah, lantai hutan, dan tanah. Di samping itu, perubahan di dalam hutan, seperti halnya pertumbuhan pepohonan, dapat menghilangkan atau mengurangi karbon dioksida dari atmosfer. Jadi hutan dapat berfungsi sebagai suatu rosot (sink) untuk menyerap emisi dari aktivitas manusia maupun sumber-sumber alamiah lainnya. Kemampuan sink potensial dari seluruh hutan di dunia sangat besar : suatu program hutan global yang layak dapat menghapus setara dengan 12 hingga 15 persen dari total emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari bahan bakar fosil antara saat ini sampai dengan 2050, dan jumlahnya meningkat sampai 25 persen jika diasumsikan penggunaan yang luas dari kayu yang dipanen secara lestari sebagai pengganti produk manufaktur yang menggunakan energi dalam jumlah besar (Brown et al., 1995). Hutan tropis dapat menyerap 80 persen emisi karbon dioksida. Sebaliknya, ketika aktivitas manusia merusak hutan, baik potensi reservoir maupun sink karbon menjadi rusak pula, sehingga hutan dapat menjadi sumber emisi karbon dioksida. Pada tahun 1980an perubahan penggunaan lahan terutama deforestrasi, menyumbangkan sekitar 25 persen dari total emisi karbon akibat aktivitas manusia di dunia (Brown et al., 1995). Kebakaran hutan yang tidak terkendali selama enam bulan di hutan-hutan tropis, misalnya di Indonesia saja, menghasilkan emisi karbon dioksida lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh semua sumber antropogenik di Uni Eropa selama setahun (Sander, 1997). Karena hutan memegang peranan ganda dan nyata dalam mengatur konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, maka proyek yang menanam, mengelola, dan melindungi hutan dapat menjadi cara penting untuk mitigasi perubahan iklim. Dalam banyak kasus, proyek-proyek kehutanan karbon dapat mengurangi emisi karbon dioksida lebih efektif dari segi biaya dibandingkan dengan proyek-proyek yang menggantikan penggunaan bahan bakar fosil untuk energi (Totten, 1999). Selain itu, proyek kehutanan karbon dapat mendorong terciptanya manfaat sosial dan lingkungan sebagai konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan daerah tangkapan air, transfer teknologi kehutanan yang lestari, dan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat lokal.

Proyek kehutanan karbon dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Secara garis besar ada dua jenis proyek yang dapat dikembangkan, walaupun dapat pula masuk dalam keduanya, yaitu: (1) Proyek peningkatan sink yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan hutan sebagai sink. Termasuk ke dalam kategori ini adalah proyek aforestrasi dan reforestrasi (penghutanan kembali), yang membentuk hutan baru atau memperbaiki kemampuan hutan yang ada untuk menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Proyek demikian dapat menggabungkan pengayaan pertanaman dan agroforestry, di antara sekian banyak strategi lainnya; (2) Proyek penurunan emisi dapat mencegah atau meminimumkan deforestrasi akibat faktor manusia; mencegah degradasi hutan menjadi sumber emisi. Proyek yang demikian dapat berupa pengurangan penebangan hutan, pencegahan konversi hutan menjadi tahan pertanian, atau mendorong adopsi praktek pengelolaan hutan secara lestari. Jika tidak, maka emisi dapat terjadi akibat aktivitas manusia yang melepaskan karbon dioksida dari tanah, serasah, dan pohon. Oleh sebab itu proyek penurunan emisi memberikan pengaruh penurunan emisi di masa yang akan datang dari hutan.

Protokol Kyoto
Tujuan Protokol Kyoto, yang merupakan hasil negosiasi pada tahun 1997 di antara para delegasi lebih dari 160 negara, adalah stabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer pada suatu level yang dapat mencegah gangguan antropogenik berbahaya terhadap sistem iklim. Hingga saat ini, sejumlah negara telah meratifikasi Protokol Kyoto untuk masuk ke dalam ketentuan sesuai hukum internasional.
Untuk mencapai tujuan yang telah dinyatakan, Protokol mulanya membagi negara-negara di dunia menjadi dua kelompok: negara-negara Annex I, yang terdiri dari negara-negara industri, dan negara-negara non-Annex I, yang terdiri dari negara-negara berkembang. Protokol kemudian membuat “komitmen pengurangan dan pembatasan emisi terkuantifikasi” bagi setiap negara Annex I. Untuk saat ini, negara-negara non-Annex I belum terikat kepada komitmen pengurangan emisi.
Komitmen untuk setiap negara Annex I berupa neraca yang ketat bagi total emisi GRK, yang disebut sebagai assigned amount (jumlah yang ditetapkan). Jumlah yang ditetapkan tersebut berlaku selain tahun 2008 hingga 2012, atau yang disebut periode komitmen. Artikel 13 dari Protokol menetapkan suatu kerangka kerja akuntansi untuk penentuan bagaimana emisi dari berbagai kegiatan mesti menghitung ke arah jumlah yang ditetapkan bagi suatu negara. Sebagian besar negara-negara Annex I harus telah mengurangi total emisi nasional mereka pada tahun 2008 hingga 2012 sehingga tidak melampaui jumlah yang ditetapkan.

Protokol menetapkan sejumlah mekanisme kerja sama yang memungkinkan sebuah negara Annex I untuk memenuhi komitmennya melalui upaya kerja sama dengan negara-negara lainnya. Alasan dibuatnya mekanisme tersebut adalah bahwa atmosfer tidak dapat dibatasi oleh lokasi geografis dari sebuah sumber emisi GRK, tetapi biaya pengurangan emisi sangat beragam antar negara. Mekanisme tersebut dirancang untuk memungkinkan bagi negara Annex I, seperti Amerika Serikat, untuk mencapai jumlah emisi yang ditetapkan melalui sejumlah kegiatan domestik maupun internasional dengan biaya terendah. Dua di antara mekanisme ditetapkan di dalam Artikel 6 dan 12 dari Protokol. Artikel 6 memberi wewenang suatu negara Annex I, atau pihak swasta dari negara tersebut, untuk berinvestasi di dalam sebuah proyek mitigasi perubahan iklim di negara Annex I lainnya. Dengan persetujuan oleh negara tuan rumah, negara investor menerima “unit pengurangan emisi”, yang dapat ditambahkan ke dalam jumlah yang ditetapkan bagi negara investor tersebut. Artikel 12 memberi wewenang kepada sebuah negara Annex I, atau atau pihak swasta dari negara tersebut, untuk berinvestasi di dalam sebuah proyek mitigasi perubahan iklim di negara non-Annex I melalui Clean Development Mechanism (CDM). Proyek CDM harus memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan di negara tuan rumah. Jika disetujui, negara investor dapat menambahkan “pengurangan emisi besertifikasi” ke dalam jumlah yang ditetapkan bagi negara investor tersebut.
Seperti halnya CDM sektor lain, CDM Kehutanan memiliki berbagai pemasalahan teknis yang hingga COP VIII belum berhasil disepakati. Beberapa permasalahan teknis adalah baseline, non permanence (CER yang dihasilkan), ketidakpastian, kebocoran, adisionalitas, dampak sosial ekonomi dan dampak pada ekosistem alam. Kesemuanya masih terus dibicarakan dasar pelaksanaan CDM Kehutanan.

Walaupun CDM Kehutanan dianggap sebagai langkah yang baik, namun tetap menimbulkan sikap pro dan kontra antar negara. Kelompok negara yang pro melihat CDM Kehutanan sebagai alternatif penurunan emisi GRK dengan biaya rendah serta adanya alasan perbaikan sektor kehutanan. Adapun yang menolak CDM Kehutanan adalah negara-negara yang telah menyatakan akan memenuhi target penurunan emisi dalam negeri secara signifikan, mempunyai potensi CDM sektor lain yang tinggi, maupun mempunyai kerentanan yang sangat tinggi.

International Emission Trading (IET) Kehutanan
Isu perdagangan emisi atau Emission Trading berasal dari AS dalam skema Joint Implementation (JI). Menurut AS perdagangan emisi bisa menurunkan emisi global lebih efektif dan kedua negara yang terlibat sama-sama untung.
Konsep perdagangan karbon yang dilakukan sebenarnya adalah Perdagangan Reduksi Emisi Besertifikat (RES) atau Certified Emission Trading (GET). Nilai CET tergantung dan banyaknya biomas yang ada dalam sistem “agro-perhutanan” yang dibangun, yaitu biomas yang dihasilkan dari pertumbuhan. Perdagangan ini dapat berlangsung karena adanya perbedaan biaya reduksi emisi antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Ada lokasi yang memerlukan biaya tinggi untuk reduksi emisi dan ada pula lokasi-lokasi yang membutuhkan biaya tinggi untuk reduksi emisi dan ada pula lokasi-lokasi yang membutuhkan biaya lebih murah untuk reduksi emisi tersebut. Prinsipnya, dalam perdagangan karbon emisi dijadikan dalam sebuah rata-rata (dari lokasi emsi rendah dengan lokasi lain yang beremisi tinggi).

Biaya reduksi emisi di negara maju lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan di negara berkembang. Untuk itu negara maju menanamkan investasinya di negara berkembang dengan harapan mereka memperoleh reduksi yang lebih murah. Contoh sederhana ilustrasi perdagangan reduksi emisi adalah sebagai berikut: misal kita membuat patokan harga karbon diasumsikan US$ 5/ton C dan setiap hektar lahan menghasilkan rata-rata 25 ton C/ha/tahun, maka untuk merehabilitasi kerusakan hutan di Indonesia yang diperkirakan seluas 90 juta ha (data BPS 2005) dengan memakai nilai tukar rupiah Rp. 9.500,-, kita akan mendapatkan dana dari memperdagangkan GET tersebut sebesar 90 x 25 x US$ 5 x Rp. 9.500,- = Rp. 106.875.000/thn atau US$ 11,25. Contoh tersebut menunjukkan bahwa selain memperoleh dana yang cukup besar jika dibandingkan dengan pinjaman Bank Dunia yang hanya US$ 400 juta/tahun, kita juga dapat melestarikan lingkungan dengan merehabilitasi kerusakan hutan (Kartikawati; Lastini; dan Arulita, 2001).

GET dalam perdagangan karbon merupakan dana insentif untuk memelihara hutan yang direhabilitasi. Hal ini disebabkan karena jika hutan rusak dan terganggu maka kandungan karbon menurun dan nilai GET pun menurun.

Selanjutnya apabila protokol pengurangan emisi ini disepakati maka kecenderungan penghambatan gas rumah kaca baik melalui konsumsi bahan bakar fosil atau penebangan hutan akan mulai dibatasi. Sebaliknya, negara maju (terutama negara Amerika) memanfaatkan sistem perdagangan karbon dengan menginvestasikan dana reduksi emisi di negara berkembang untuk menghindari komitmennya untuk mengurangi emisi.

Dilihat dari sudut pandang ekologi, perdagangan karbon akan memicu dan memacu adanya kajian keanekaragaman hayati, terutama mengenai daya serap karbon dari tiap vegetasi. Di samping itu juga mempertahankan keberadaan sumber daya alam yang dapat mereduksi emisi gas rumah kaca, sehingga sumber daya alam akan dilihat tidak saja sebagai sumber daya alam yang dapat dinikmati secara gratis sebagai barang publik, tetapi mempunyai nilai dari keberadaannya.


Paradigma Baru Kehutanan
Sejak diumumkannya Undang-undang No. 1 tahun 1969 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang No. 8 tahun 1969 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), maka sektor kehutanan mulai menunjukkan kemilaunya sebagai sumber devisa andalan yang mempesona Rimbawan Muda. Sejak itu paradigma kehutanan yang berlaku adalah hutan sebagai penghasil kayu. Pemanenan hutan dilakukan secara besar-besaran, sehingga dalam waktu singkat (± 20 tahun) seluruh kawasan HPH sudah dipanen yang seharusnya diselesaikan dalam 35 tahun. Kerusakan ekosistem mulai dirasakan di berbagai tempat di Indonesia.

Namun dengan adanya inisiatif global seperti Protokol Kyoto maka kini kita ditantang untuk melihat hutan dengan sudut pandang yang berbeda. Dengan protokol tersebut hutan harus dilihat dalam konteks hutan dan komponen-komponennya. Hal ini berarti telah terjadi perubahan paradigma. Kini paradigma kehutanan adalah hutan dan lingkungan.

Dalam paradigma baru Rimbawan dan praktisi lain yang berkaitan dengan vegetasi hutan pada ekosistem daratan ditantang untuk mempraktekkan pengetahuan dan keahliannya pada spektrum yang luas, yakni lingkungan global. Untuk itu kini hutan bukan sekedar tumpukan devisa yang bisa mendatangkan keuntungan sesaat, yang sering juga menimbulkan bencana kalau dimanfaatkan tanpa kendali. Akan tetapi hutan merupakan komoditas yang harus diatur secara optimal dengan pola hutan lestari.


CDM dan IET Kehutanan merupakan pemicu perubahan paradigma kehutanan yang harus dipelajari secara seksama. Hal ini dilakukan bukan hanya sekedar mendapatkan uang semata tetapi lebih ditunjukkan untuk menata kondisi kehutanan yang sudah carut-marut. Tidak kalah penting adalah menata pendidikan kehutanan di pendidikan tentang kepedulian terhadap hutan dan semua komponen di dalamnya sebagai satu kesatuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar