Pages

Sabtu, 07 November 2015

Hutan Bagi Masyarakat Adat Asmat


Sebagian besar Masyarakat Adat Papua pada umumnya dan Masyarakat Adat Suku Asmat mempunyai pandangan positif terhadap hutan.  Masyarakat Adat Asmat tidak pernah memandang hutan alam hanya sebagai sebuah pohon belaka yang harus ditebang untuk menghasilkan uang.  Hutan bagi orang asli Asmat mempunyai makna sangat multi dimensional.  Oleh karena itu masyarakat Asmat tepatnya di Kampung Manep Distrik Akat tidak pernah menganggap hutan sebagai musuh yang harus dihabiskan atau dimusnahkan dari permukaan bumi.  Mereka bahkan memandang hutan sebagai salah satu bagian penting dari komunitas mereka. 

Hutan juga merupakan sesuatu yang sakral bagi masyarakat adat Asmat, karena mereka percaya bahwa hutan adalah tempat tinggal arwah para leluhur dan anggota keluarga mereka yang telah meninggal yang juga berperan sebagai penjaga yang melindungi hutan, termasuk binatang dan tumbuhan, milik masyarakat adat.  Hutan juga merupakan tempat beribadah alami dimana mereka dapat melakukan acara-acara ritual menurut kepercayaan mereka baik secara individu maupun komunitas.  Masyarakat adat Asmat biasanya masuk ke dalam hutan bila mereka ingin berkomunikasi dengan para leluhur atau anggota keluarga mereka yang telah meninggal. 

Pandangan dan hubungan yang begitu erat dan mendalam antara Masyarakat Adat dengan hutan tersebut itulah yang biasanya dinyatakan dalam ungkapan “Hutan adalah mama (the forest is our mother).  Oleh karena itu Masyarakat Adat sesungguhnya menghargai hutan sebagai ibu yang tanpa kenal lelah mengasuh, melindungi dan memelihara setiap angota masyarakat.  Begitu eratnya hubungan tersebut terungkap pula dalam ungkapan berikut : “hutan kita, hidup kita” . Begitulah ungkapkan masyarakat adat Asmat yang bisa menjadi contoh bagi kita semua.

Masyarakat adat Asmat memiliki kemampuan dalam memahami kondisi karakteristik hutan yang ada di wilayah adatnya.  Mereka sangat mengetahui lokasi kayu berada; dimana kayu dengan nilai ekonomi tinggi dan dimana kayu yang tidak bernilai ekonomi tinggi.  Salah satu kayu hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi menurut Masyarakat di Kampung Manep adalah kayu besi atau kayu merbau yang dalam istilah ilmu botani disebut: Intsia bijuga O.K; Intsia palembanica Miq dan Intsia accuminata.

Di Papua, beberapa daerah memberi nama lokal yang berbeda, seperti Rang/Tangibe {Skou-Jayapura}, Pakvem {Njou-Jayapura}, Babrie babilli {Sentani-Jayapura}, Bat {Kemtoek-Jayapura}, Djem {Hattam-Manokwari}, Plam {Amberbaken-Manokwari}, Osa {Waropen-Serui}, Kaboei {Numfor-Biak}-(sumber: Dinas Kehutanan Irian Jaya, 1976).  Masyarakat Adat di Asmat sendiri memberi nama daerah  untuk kayu merbau dengan sebutan Paseh dan jerah.  Menurut Masyarakat Asmat, salah satu ciri Intia Palembanica dikatakan Paseh  apabila memiliki ciro-ciri daun meruncing, jumlah pasang anak daun lebih dari dua pasang atau 3-5 bahkan lebih, warna daun cenderung lebih hijau muda dibanding Intia Bijuga, batang coklat kemerahan, agar kasar dan dapat mengelupas.  Untuk Instia Bijua anak daun cenderung dua pasang, warna daun hijau tua, batang kelabu hingga coklat muda, tekstur halus dan tidak mudah mengelupas. Pemahaman nama lokal diatas menunjukkan bahwa kayu merbau sangat dikenal luas oleh masyarakat adat suku Asmat pada khususnya dan masyarakat adat Papua pada umumnya, untuk itu harus dilestarikan dan ditingkatkan untuk pengenalan jenis kayu lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar