Pages

Senin, 16 November 2015

Mangrove



Hutan mangrove atau sering disebut bakau, merupakan salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sudut sosial, ekonomi,dan ekologis.





Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan.Fungsi utama sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia berbagai kebutuhan hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Sumberdaya hutan mangrove, selain dikenal memiliki potensi ekonomi sebagai penyedia sumberdaya kayu juga sebagai tempat pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan juga sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya, juga berfungsi untuk menahan gelombang laut dan intrusi air laut kearah darat. Papua menjadi salah satu dari 5 daerah dengan hutan mangrove terluas di Indonesia.

Hutan mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove di Indonesia dan satu dari areal yang terluas di dunia, yang sampai saat ini tidak mendapat tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain.

Ekosistem Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan hutan itu tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh dengan baik didaerah pesisir yang terlindung, seperti delta dan estuaria. Lebih spesifik lagi adalah tumbuhan yang berkembang di daerah tropika dan subtropika pantai diantara batas-batas permukaan air pasang dan sedikit diatas rata-rata dari permukaan air laut.
1). Tempat tumbuh berbagai jenis tumbuhan dan fauna.
Umali et al (1987) dalam Kusmana (1997) melaporkan adanya sekitar 130 jenis tumbuhan yang hidup di habitat mangrove, baik berupa major component of mangrove, minor component of mangrove maupun mangrove associates.  Secara umum hutan mangrove di kawasan Asia-Pasifik didominasi oleh genera Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, dan Sonneratia.Fauna yang hidup di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan fauna laut.Fauna daratan, baik yang bersifat temporari maupun permanen menetap di mangrove, terdiri atas : (a) burung (Anhinga anhinga, Egretta spp, dll), (b) amphibia (Rana spp), (c) reptilia (Crocodilus porosus, Varanus salvator, dll), (d) mamalia (Nasalis larvatus, Macaca irus, Presbytis cristus, dll), dan (e) serangga (Aedes spp, Anopheles spp, Culicoides spp)Fauna laut terdiri atas : (a) infauna yang hidup di lobang-lobang dalam tanah yang didominasi oleh Crustaceae dan Bivalvia, (b) epifauna yang mengembara diatas permukaan tanah yang didominasi oleh Moluska (kerang-kerangan, Gastropoda) dan kepiting.

(2). Sebagai tempat asuban (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis ikan, krustase dan moluska. Mangrove (disamping padang lamun) merupakan penyedia sumber makanan (food source) utama bagi berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting yang idup di ekosistem pesisir melalui guguran serasah dari tumbuhan mangrove (terutama daun) yang mati.  Sebagian kecil serasah yang jatuh di lantai hutan akan langsung dimakan oleh kepiting dan sebagian besar akan didekomposisi menjadi detritus oleh mikroba yang menjadi sumber makanan bagi detrivora, yang selanjutnya detrivora tersebut menjadi sumber makanan bagi karnivora. Contoh pemanfaatan mangrove, baik langsung maupun tidak langsung di beberapa daerah di luar Papua, antara lain:

A.    Arang dan Kayu Bakar 
Arang mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang onshyu dari Cina.Pengusahaan arang mangrove di Indonesia sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, antara lain di Aceh, Riau, dan Kalimantan Barat. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000 ton yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan melalui Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton, sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000 (Inoue et al., 1999).Jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13.000,-/m3 yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang anak. Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak melambung tinggi (Inoue et al., 1999).

B.     Bahan Bangunan
Kayu mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,-. Kayu ini diperoleh dari hasil penjarangan (Inoue et al., 1999).

C. Bahan Baku Chip
Jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada tahun 1998 jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar internasional kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).

D. Tanin
Tanin merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industry sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan lem untuk kayu lapis. Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai bahan pencelup dengan harga 2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).

E. Nipah
Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di waktu senggang. Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan mangrove di Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga perajin atap nipah dengan hasil 460 ton pada tahun 1999.

F. Obat-obatan
Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional.Air rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent.Kulit R. mucronata dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan.Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthusillicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999).

G. Perikanan
Sudah diulas di depan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Dari sini tampak bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas perikanan pada perairan bebas. Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978.Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman polowijo, dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak (Wirjodarmodjo dan Hamzah, 1984).

H. Pertanian
Keberadaan hutan mangrove penting bagi pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai. Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas baik. Tempat di areal hutan mangrove yang masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu-kayu mangrove yang mati. Di Bali, garam yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal tidak pahit dan banyak mengandung mineral dengan harga di pasar lokal Rp 1.500,-/kg, sedangkan bila dikemas untuk dijual kepada turis harganya menjadi US$ 6 per 700 gram (Rp 68.000,-/kg). Air sisa rebusan kedua dimanfaatkan untuk produksi tempe dan tahu dan dijual dengan harga Rp 2.000,-/liter (Inoue et al., 1999).

I. Pariwisata
Hutan mangrove yang telah berhasil dikembangkan menjadi obyek wisata alam di Indonesia antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove. Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.


Jelas prospek pengembangan hutan mangrove sangat menjanjikan. Dibutuhkan paradigma baru dalam memberikan sentuhan bagi pembangunan kehutanan di Papua, khususnya pengembangan mangrove sehingga berdampak langsung bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Tata kelola inovatif, kreatif dan kerjasama semua pihak sangat menentukan hasil akhir perjuangan membangun kehutanan Papua. Niat hati tulus serta kerja keras tentunya akan membawa hasil. Harapan itu tetap ada, panjang berderet seperti dereten hutan mangrove seolah meneriakan sambutan alam bagi setiap yang datang agar tidak sebatas mengagumi tetapi juga akan memikirkan cara bijak mengelola potensi yang sudah ada bagi kesejahteraan. Khususnya dalam mendukung peningkatan ekonomi masyarakat pesisir di wilayah Papua.