Pages

Selasa, 27 Oktober 2015

Menjual Pesona Alam untuk kelestarian dan kesejateraan Masyarakat di Papua

Berbagai ahli wisata meramalkan bahwa industri pariwisata akan mengalami “booming” pada waktu yang tak lama lagi.  Di antara industri pariwisata tersebut adalah ekowisata atau wisata alam yang mulai diminati masyarakat dunia.  Ekowisata akan tumbuh pesat menggantikan industri pariwisata massal (mass tourism) yang kurang berorientasi pada keindahan alam dan keunikan lingkungan.


Bila ramalan tersebut dapat terwujud, maka Papua sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki potensi ekowisata luar biasa, pasti akan menjadi daerah tujuan wisata yang patut diperhitungkan. Apalagi dipersiapkan sejak sekarang, semua pihak yang berkompeten membaca peluang bisnis yang lagi “ngetrend” ini.  Keuntungan devisa dan pendapatan asli daerah akan dapat diraup dari sektor ini, jika wisatawan (turis) baik lokal maupun mancanegara ditawarkan berkeliling serta menikmati  kebudayaan, keunikan  serta keasliaan alam Papua.  Disamping itu tentu multiplier effect berupa penyerapan tenaga kerja dan industri-industri pendukungnya terbuka dan memberi dampak bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Nampaknya, era eksploitasi hutan alam yang bersifat massif dengan orientasi hasil hutan kayu semata mulai dipertimbangkan kembali.  Pengembangan bisnis ekowisata sebagai bagian dari konsep pemanfaatan jasa lingkungan berbasis pengelolaan ekosistem multi komoditi dalam kerangka revitalisasi kehutanan harus segera diwujudkan.  Terdapat potensi yang sangat besar dan prospektif serta pelayanan prima dapat diwujudkan maka sangat diyakini bahwa bisnis ekowisata akan mampu membantu mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan yang sedang dialami negeri ini. 

Apa itu Ekowisata
Untuk mengembangkan ekowisata sebagai sarana untuk menggaet devisa maka pemahaman konsep ekowisata menjadi faktor yang sangat penting (urgen) untuk dipahami.  Ekowisata adalah aktifitas pariwisata yang berwawasan lingkungan.  Melalui aktifitas ini, wisatawan diajak menikmati keaslian keindahan alam, sehingga wisatawan akan mendapatkan ilmu pengetahuan, yang akhirnya akan tergugah jiwanya untuk makin mencintai alam.  Wisatawan diajak untuk kembali dan menyatu dengan alam (back to nature), terutama kawasan-kawasan yang unik atau bersifat khas dan tidak ditemui di daerah asal mereka.  Berbeda dengan bentuk wisata lain, ekowisata tidak menuntut suatu fasilitas akomodasi yang mewah dan bangunan artificial berlebihan.  Ekowisata menuntut kesederhanaan, keaslian, kemurnian budaya, ketenangan, kesunyian, keindahan flora-fauna, serta kelestarian lingkungan.   Selain itu aktifitas ekowisata tidak hanya berkaitan dengan lingkungan fisik (alam) semata, melainkan juga berkaitan dengan lingkungan sosial budaya.  Karena itu, ekowisata diupayakan semaksimal mungkin dapat mengikutsertakan potensi masyarakat sekitar kawasan (local comunity).  Inilah gambar singkat mengenai ekowisata yang diminati oleh wisatawan mancanegara.  Jelasnya ekowisata bukan sekedar paket perjalanan wisata yang “glamour” melainkan paket perjalanan wisata yang tenang, sekalipun wisatawan yang datang terdiri atas orang-orang kelas mampu dengan bekal dana sangat cukup bahkan berlimpah untuk berwisata..

Menjual Pesona, Menggaet Devisa untuk kemandirian daerah
Siapa yang tidak kagum melihat negara kecil seperti Costarica hidup dari bisnis menjual keindahan alam.  Negara di Amerika Latin itu dikaruniai keindahan alam dan kestabilan politik yang tinggi, sehingga digandrungi wisatawan mancanegara.  Di Monte Verde Cloud Forest Reserve (100 mil dari ibukota Costarica, San Yose), pemerintah bekerjasama dengan swasta mati-matian dengan aturan yang tegas melindungi hutan hujan tropis, sehingga hutan itu tetap hijau menakjubkan dan menjadi daya tarik yang tinggi bagi wisatawan.  Untuk mencapainya, wisatawan bisa terbang langsung menuju Yuan Santamaria International Airport, 10 mil dari San Yose, atau melalui perjalanan darat dari Amerika Serikat.

Selain Costarica, negara-negara lain seperti Rwanda, Kenya, Nepal, Ekuador, Brazillia, Afrika Selatan, sumber devisa utamanya juga diperoleh dari aktifitas ekowisata. Devisa diperoleh dari aktifitas transportasi, kuliner, karcis masuk, guide, souvenir serta berbagai sektor pendukung lainnya, terutama yang langsung maupun tidak langsung. 

Turis asing umumnya tak sayang untuk membayar mahal.  Sebagai contoh, mengikuti paket ekowisata “Amazone rain forest paradise” berupa aktifitas menyusuri sungai amazona sambil menikmati kesejukan hutan.  Ini sekedar contoh bahwa aktifitas ekowisata benar-benar mendatangkan devisa tidak kecil. 

Peluang Bisnis
Ramalan para ahli pariwisata bukan main-main. Pakar ekowisata, Ceballos, mengemukakan bahwa duapuluh tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1992 saja turis dunia mencapai 420 juta orang dengan pendapatan yang diperoleh negara-negara sumber turis tidak kurang dari 40 trilyun US$.  Mereka menyebar ke seluruh pelosok dunia dan umumnya justru ke arah negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin.Masyarakat terutama di negara-negara maju, seperti Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, Jepang, dan lain-lain, tak sayang untuk “membuang uang” di negara lain, asal dibayar kembali dengan kenikmatan atraksi alam yang menakjubkan.  Mereka telah memiliki program wisata yang terencana rapi, kemana, kapan, bagaimana, dengan siapa mereka akan menikmati rekreasi alam terbuka (open door recreation), yang semuanya dikelola oleh penyelenggara wisata sangat profesional

Beberapa faktor yang mendorong turis mancanegara bersedia membayar mahal paket wisata alam, antara lain: pendapatan masyarakat di negara-negara maju meningkat, sarana-prasarana transportasi makin memadai, banyak masyarakat menuntut rileksasi, banyak orang usia lanjut yang berduit butuh rekreasi, dan kesadaran “back to nature” terus meningkat di seluruh dunia.  Semua ini merupakan peluang pasar bagi bisnis ekowisata di Papua.  Kalau di Costarica, Rwanda, Kenya dan Brasilia dapat hidup dari usaha menjual pesona alam, bagaimana dengan Papua.  Jawabannya sangat bisa.  Optimisme ini bukan berarti tanpa alasan.  Papua memiliki kekayaan keindahan alam sangat prospektif untuk dijual pesona alamnya baik dari wilayah pantai, hutan mangrove, sungai, danau dan hutan serta berbagai kekayaan alam didalamnya dapat dikelola menjadi sumber devisa.  Ambil contoh kecil danau Sentani yang sangat indah dengan dikelilingi bukit-bukit, panorama pantai Hamadi, pantai base “G”, pantai Amai, juga pantai Holtekam di wilayah Jayapura.  Keindahan alam di Kepulauan Yapen juga tidak kalah indahnya seperti pantai Mariade, Pantai Woi, Kepulauan Serui Laut, Habitat Burung Cenderawasih di Poom dan Barawai merupakan keindahan pesona alam yang kalau dibandingkan dengan daerah lain memiliki sifat endemik yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia bahkan di belahan dunia lain.

Tantangan Bagi Rimbawan
Kawasan hutan lindung, Taman Wisata Alam, dan Hutan Konservasi  bahkan kawasan Hutan Produksi saat ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal untuk menghasilkan devisa.  Era menebang hutan alam untuk memungut kayunya kini makin diperketat, karena hal itu berisiko tinggi terhadap lingkungan.  Karena itu ekowisata dengan memanfaatkan potensi seluruh fungsi hutan, makin relevan untuk dikembangkan.  Inilah tantangan bagi para rimbawan.

Bisnis ekowisata sudah menjadi industri global.  Karena itu, sekalipun peluangnya besar, persaingannya pun sangat keras.  Konsekuensinya adalah bisnis ini harus dikelola secara profesional agar bisa bersaing di pasaran global. Potensi negara-negara sumber turis sebagaimana disebutkan di awal artikel ini pada dasarnya sama, yaitu memiliki keunggulan keaslian flora-fauna dan keindahan panorama yang menakjubkan.  Kunci keberhasilan persaingan bisnis ini bukan semata-mata terletak pada keunggulan potensi alam yang dimiliki justru terletak pada mutu layanan (service quality) dari seluruh paket yang disajikan.

Untuk memperoleh margin keuntungan yang tinggi, maka bisnis ekowisata harus mampu menjaring turis mancanegara sebanyak-banyaknya.  Hal ini hanya bisa dilakukan apabila penyelenggara tur (tour operator) memiliki jaringan kerja (networking) yang kuat dan menguasai pasar dunia.  Oleh karena itu pihak pembisnis harus mengembangkan jaringan wisata domestik (inbound tourism) dan mancanegara (outbound tourism) yang kuat.  Wisata alam dengan jasa biro-biro perjalanan domestik/asing dan institusi lain di luar negeri.  Mampukan Papua menangkap peluang seperti itu?  Kembali, dipertanyakan apa peranan rimbawan dalam hal ini? Menurut penulis, salah satu peranan rimbawan (khususnya birokrat) adalah membuat seperangkat aturan main yang integral dan komprehensif, yang mampu menarik peranserta “entrepreneurs” profesional untuk membangun bisnis ekowisata yang “terintegrasi”.  Barangkali pada tingkat awal adalah memperbaiki bisnis ekowisata yang sudah dikenal di tingkat dunia, seperti ekowisata habitat burung cenderawasih, keindahan kepulauan Yapen, Keindahan Danau Sentani, Keindahan Pegunungan Cartenz, Keindahan Taman Nasional Lorentz dan Wasur, misalnya, sehingga pengelolaannya betul-betul profesional dan memiliki jaringan bisnis mancanegara yang kuat.  Pihak pemerintah cukup menjadi fasilitator dan pengawas, sedangkan operasionalnya diserahkan kepada pebisnis berpengalaman dan bonafid dibidang pengelolaan ekowisata.

Karena itu harus diciptakan aturan main yang jelas, perhitungan “cost benefit” yang cermat sehingga ada gambaran bahwa bisnis ekowisata memiliki keunggulan yang lebih besar atau minimal sama dengan bisnis lain, serta bagaimana mengimplementasikan keterkaitan rantai bisnis yang panjang itu ke dalam satu jaringan yang sinergis.

Bila Rwanda atau Kenya dan Costarica mampu membangun jaringan ekowisata yang kuat, kenapa Papua yang sangat potensial tidak mampu membuat hal yang sama?.  Ini barangkali pertanyaan yang patut direnungkan dan dijawab kita semua.  Benar, diramalkan para ahli wisata bahwa bisnis ekowisata bakal “booming” di waktu mendatang, tetapi harus disadari, bahwa untuk mencapai keuntungan dari bisnis itu, kita dituntut banyak bekerja dan berpikir serius.  Potensi ekowisata yang luar biasa dimiliki Papua belum menjamin prospek bisnis ini akan berjalan secara optimal, apabila semua pihak yang terkait masih berjalan sendiri-sendiri dan tidak membangun kerjasama yang mutualistik seperti yang terjadi selama ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar