Pages

Senin, 26 Oktober 2015

Masyarakat Adat Bonggo, Sarmi

Gambar Diri Masyarakat Papua Mengelola Hutan dengan Pendekatan Budaya

Dalam Pandangan Masyarakat Adat,  hutan tidak hanya bernilai ekonomi, akan tetapi mengandung nilai- nilai social cultural dan psychologis . sehingga  kearifan lokal masyarakat Bonggo tidak hanya dilihat dari aspek ekonominya saja. Menjaga hutan bagi masyarakat Bonggo, seperti juga masyarakat Papua pada umumnya sama dengan menjaga diri, keluarga serta kehidupan.

Ada pengakuan hubungan emosional antara hutan dan kehidupan sosial masyarakat. Ikatan emosional seperti ini mendorong masyarakat Bonggo mengelola hutan dengan kearifan yang sudah membudaya turun temurun. Hasil hutan dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Didalam memanfaatkan hasil hutan masyarakat Bonggo tidak melakukan orang perseorangan tetapi biasanya berkelompok. Upaya untuk tetap memanfaatkan potensi yang ada harus didukung oleh kelembagaan masyarakat Adat.

Model seperti ini merupakan kegiatan berdampak positif selain hasil hutan yaitu adanya kebersamaan, kedekatan masyarakat serta kekeluargaan yang sudah menjadi tradisi serta budaya masyarakat. Dalam kebersamaan hidup berkelompok memanfaatkan hasil hutan secara tidak langsung masing-masing saling mengingatkan tentang pentingnya menjaga serta melestarikan hutan demi masa depan anak cucu; sama dengan menjaga kekerabatan diantara mereka. Seperti Kelompok Usaha Hasil Hutan Tetom Jaya.

Kelompok Masyarakat Adat yang dipimpin oleh Hendrik Bonay ini tetap menjaga tradisi kebersamaan dengan azas kekeluargaan dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. Termasuk budaya menanam. Khususnya dalam mengelola hasil hutan, kesadaran bahwa hutan harus dihargai bukan hanya dari sisi meningkatkan ekonomi rakyat saja melainkan sebagai sumber kehidupan termasuk didalamnya nilai sosial, budaya, dan lebih penting sebagai warisan bagi anak-cucu, maka kelompok ini melakukan kegiatannya dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan juga aturan-aturan yang berlaku baik yang sudah ditetapkan oleh pemerintah maupun yang telah disepakati dalam kelompok. Ini penting karena bila pengelolaan hasil hutan melanggar kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan serta disepakati, sudah pasti akan memberi akibat sangat merugikan bagi masyarakat sendiri. Dan bila sebagai Kelompok Usaha Hasil Hutan justru melanggar aturan ini maka itu sama dengan “membunuh harapan masa depan” generasi saat ini dan mendatang.

Hasil hutan bukan saja telah memberi manfaat masyarakat Bonggo, Sarmi, pada masa sekarang. Sekitar tahun 1950-an SARMI yang merupakan Onderafdeling dari Afdeling Holandia, banyak memberikan sumbangan bagi Holandia Binem untuk mendukung Pemerintahan saat itu, tentunya dari hasil hutan , diantaranya Damar dan Kopra. Sebagai kota dagang tentunya tidak terlepas dari potensi sumber daya alam yang ada.

Untuk masa kini pemanfaatan hasil hutan membutuhkan dukungan pemerintah juga pihak-pihak seperti tenaga professional. Seperti untuk Masyarakat Bonggo, sudah  dilakukan bersama aktivis LSM, Ir. Lindon Pangkali, dalam mempersiapkan kelembagan Adat  ( Capacity Building ) untuk mempersiapkan Industri Pengolahan Kayu bagi Masyarakat Adat.   Masyarakat adat diharapkan sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan Hasil Hutan, dengan demikian dapat memenuhi permintaan lokal  di  Kabupaten Sarmi. Selanjutnya untuk mendukung permintaan pasar, perlu tenaga profesional  yang terlatih. Untuk itu kemitraan antara LSM, Pemerintah dan Pelaku Pasar, perlu disikapi dengan pelatihan-pelatihan atau magang kerja di Industri Pengolahan Kayu yang sudah maju,  Berbicara peran lembaga adat, sesuai kewenangan otsus dan arah kebijakan Gubernur provinsi Papua,  sudah seharusnya Industri-industri pengolahan kayu   turut menyiapkan dana bagi pengembangan  Sumber Daya Manusia , sebagai bentuk tanggung  sosial perusahaan kepada masyarakat.Dan dengan hadirnya Industri-ndustri pengolahan kayu, harus diikuti dengan program pengembangan masyarakat,  yang meliputi bidang kesehatan, ekonomi dan sosial.

Dari uraian diatas, disimpulkan bahwa  sinergitas antar pemerintah sebagai fungsi kontrol, dan perusahaan sebagai  pihak pengelolah harus  menempatkan kapasitas lembaga adat sebagai mitra kerja, sehingga pemanfaatan Sumber Daya Alam bisa mampu menjawab persoalan mendasar bagi masyarakat secara ekonomi.

Kearifan masyarakat Bonggo, Sarmi melalui lembaga adat seperti Kelompok Tani Hasil Hutan Tetom Jaya merupakan salah satu gambar diri masyarakat Papua yang meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa ketika hutan maupun alam sekitar dikelola dengan mengedepankan nilai budaya serta kekuatan ikatan emosional  (social cultural dan psychologis) dengan hutan dan alam bukan hanya sebatas manfaat yang diberikan kepada manusia, maka manfaat yang dapat diterima manusia tidak hanya sebatas manfaat ekonomi belaka, tetapi lebih dari itu manfaat warisan budaya serta nilai-nilai ikatan kekeluargaan diantara sesame warga masyarakat.


Dan ketika kekuatan ini didukung dengan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, pola kemitraan yang sama-sama saling mendukung dan menguntungkan serta tersedia jaringan pasar, maka pasti kemandirian dan rasa percaya diri untuk meningkatkan kesejahteraan dapat tercapai, bukan hanya sebatas khayalan apalagi sekedar slogan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar