Pages

Rabu, 04 November 2015

PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT (HTR) POLA KEMITRAAN DI PROVINSI PAPUA


S
elama tiga dasawarsa, kebijakan pembangunan kehutanan di Provinsi Papua masih berorientasi pada “timber management”, dengan menggunakan teknologi modern dan atau alat-alat berat mekanis.  Kebijakan dengan orientasi kayu ini belum mampu mengatasi permasalahan kemiskinan.  Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan setiap kebijakan pembangunan daerah dibidang kehutanan yaitu pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seluruh lapisan masyarakat.  Hal yang terjadi sesungguhnya adalah informasi yang luas beredar hanya mengenai keberhasilan kehutanan sebagai sektor perekonomian andalan (leading sector) selain migas dalam rangka untuk meningkatkan devisa negara dan pendapatan asli daerah (PAD).  Sementara itu, keperpihakan masyarakat lokal yang menjadikan hutan sebagai multidimensional kehidupannya tidak terekspos.  Dampak keberadaan masyarakat lokal dan kepentingannya terhadap sumberdaya hutan belum dapat diterjemahkan secara utuh dalam pengelolaan sumberdaya.

Kebijakan dan peraturan di bidang kehutanan yang berorientasi konvesional pada “timber management” (walaupun telah mengalami perubahan dari sistem pemerintahan sentralistik), diyakini menjadi salah satu pemicu lajunya deforestrasi dan  munculnya konflik terhadap pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Sebenarnya dalam setiap perjanjian kehutanan yang ditandatangani sebelum ijin konsesi hutan diberikan, tercantum ketentuan bahwa setiap pemegang konsesi hutan dibebani misi sosial untuk memperhatikan kepentingan dan kehidupan masyarakat lokal/tradisional di sekitar areal kerja.  Kewajiban sosial ini telah didesain bagi pemegang HPH dan HPHTI berupa Bina Desa Hutan dan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Sebagian besar pemegang konsesi hutan ternyata tidak sungguh-sungguh melaksanakan kewajiban sosialnya.  Kewajiban sosial tersebut lebih banyak dimanfaatkan untuk “show window” karena lebih menekankan pada bantuan-bantuan perangkat keras bukan dalam arti pemberdayaan masyarakat. Oleh karenanya harapan dampak dari kegiatan pengusahaan hutan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat tidak terlibat secara berkelanjutan.

Guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan hutan, pemerintah daerah telah dan akan melakukan berbagai upaya untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, seperti program hutan kemasyarakatan, program hutan rakyat, program sosial forestry dan sebagainya.  Bahkan pada awal tahun 2007 ini, terdapat suatu program baru yang dinamakan Hutan Tanaman Rakyat atau disebut HTR.  Disamping untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, program ini juga mempunyai tujuan mengatasi kekurangan pasokan bahan baku kayu serta merehabilitasi kawasan hutan produksi yang rusak.  Salah satu model yang akan dikembangkan dalam HTR adalah pola kemitraan.
Hingga kini, pola kemitraan dalam pengusahaan atau pemanfaatan hutan belum banyak dilakukan oleh pemerintah maupun pengusaha. Walaupun terdapat sebagian perusahaan yang telah melakukan pola kemitraan dalam pembangunan hutan tanaman industri, namun upaya tersebut belum menempatkan masyarakat sebagai mitra yang sejajar. Mereka sering berada pada posisi yang lemah, khususnya akses untuk mengetahui kebutuhan bahan baku (input produksi, jumlah hasil produksi, maupun penentuan harga jual.  Akibatnya sistem bagi hasil yang mereka peroleh dari kerjasama tersebut sering kurang menguntungkan bagi masyarakat. 

Berdasarkan kondisi dan fakta di lapangan dalam rangka meningkatkan kinerja pembangunan hutan tanaman rakyat di Provinsi Papua dengan melihat segala potensi, minat masyarakat, kendala permasalahan dan kebijakan yang mendukung, maka ada beberapa rekomendasi yang diberikan terkait dengan pengembangan HTR, sebagai berikut : (1) Inventarisasi dan sosialisasi program Hutan Tanaman Rakyat kepada seluruh stakeholder.  Inventarisasi dan sosialisasi stakeholder harus dilakukan kepada berbagai pihak, antara lain : unsur pemerintah, DPRD, Tokoh Masyarakat, Lembaga Adat, Akademisi, Perguruan Tinggi, Organisasi Kepemudaan, Pengusaha/Perusahaan, LSM dan unsur lainnya secara partisipatif; (2) Kebijakan dan jaminan hukum.  Selain PP No 6 Tahun 2007, didalam pelaksanaannya harus ada kebijakan teknis oleh pemerintah daerah yang mengatur mulai dari perencanaan sampai dengan pasca panen, agar setiap komponen yang terlibat mempunyai tanggungjawab, wewenang, hak dan kewajiban secara proporsional.  Selanjutnya harus ada jaminan hukum menyangkut kepastian areal yang akan dikelola oleh masyarakat/kelompok peserta. Hal ini penting karena permasalahan tata batas wilayah merupakan salah satu penyebab utama konflik yang sering terjadi; (3) Penentuan kesepakatan bersama. Menentukan visi, misi dan strategi serta program perencanaan, pengelolaan dan penetapan kebijakan yang berkaitan dengan pola kerjasama (kemitraan) antara masyarakat dan mitra kerja dalam pengembangan hutan tanaman rakyat; (4) Penyusunan struktur kelembagaan/organisasi.  Pengembangan HTR diperlukan suatu lembaga/organisasi untuk memudahkan dalam koordinasi diantara para partisipan dalam masyarakat dan mitra kerjanya; (5) Pemberian mandat.  Pemberian mandat diberikan kepada personil partisipan dalam masyarakat yang  dianggap mampu mengimplementasikan rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam jangka waktu tertentu dengan dibantu perangkat pendukung lainnya disesuaikan dengan kebutuhan kerja yang akan dilakukan; (6) Komoditi yang aspiratif.  Masyarakat sebagai mitra kerja dalam menentukan komoditi yang akan ditanam harus dilibatkan, sehingga komoditi yang dikembangkan merupakan hasil kesepakatan bersama yang didasarkan pada aspek ekonomi maupun aspek-aspek lainnya; (7) Pembagian kerja.  Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencapaian target yang diinginkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan HTR; (7) Jaminan akses pasar dan ketersediaan teknologi.  Harus ada jaminan bahwa komoditi yang dikembangkan tersedia pasarnya, sehingga setiap produk yang dihasilkan tidak akan mengalami kesulitan didalam pemasarannya. Selain itu, diperlukan juga adanya ketersediaan teknologi berupa benih unggul, penanganan pasca panen dan pengendalian hama dan penyakit; (8) Pembinaan dan pendampingan. Dalam pelaksanaan pembangunan HTR, harus ada tenaga yang membina dan melakukan pendampingan secara berkelanjutan sampai terciptanya masyarakat yang mandiri untuk melakukan pengelolaan selanjutnya. 

Masyarakat memiliki minat yang cukup tinggi terhadap rencana HTR, bahkan menginginkan agar rencana ini segera direalisasikan.  Fakta di lapangan bahwa sebagian besar masyarakat belum mengetahui rencana HTR.  Apabila HTR direalisasikan maka perlu ada kesepakatan tertulis yang bersifat mengikat dan dapat dijadikan dasar hukum baik terhadap pemodalan, jenis komoditi maupun sistem bagi hasil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar